Part 3

 Penghianat

SEPULANG sekolah, aku sudah memberi tahu Alfa untuk mampir sebentar di toko buku. Aku menyusuri setiap rak, hingga aku tak sengaja melihat seseorang yang mirip sekali dengan ibuku.

Aku memang belum pernah melihat wajah ibuku sendiri, tapi Ayah selalu memajang foto Ibu di kamarku. Aku ingin mengejarnya, tapi Alfa tiba-tiba memanggilku.

“Udah apa belum?”

“Oh, udah.”

“Ya udah, kalau gitu langsung bayar aja.”

“Iya,” aku berjalan ke kasir sambil celingukan, memastikan yang aku lihat tadi masih ada di toko buku.

“Nyari siapa sih?”

“Bukan siapa-siapa, nggak penting. Udah nih, ayo pulang.”

“Ayo.”

Di perjalanan pulang, Alfa mengamatiku nampak resah, lalu Alfa menghentikan motornya di sebuah taman.

“Kenapa berhenti?” tanyaku heran.

“Kamu mikirin apa sih? Habis keluar dari toko buku kok diem aja dari tadi?”

“Aku bilang kan nggak penting. Udah ayo pulang.”

“Bohong, kamu ketemu siapa sih tadi?”

“Belum saatnya kamu tahu.”

“Ya udah tunggu sebentar.”

Beberapa menit kemudian, Alfa datang dengan memberikan satu es krim rasa coklat.

“Emang aku anak kecil, di kasih es krim?”

“Emang kalau udah gede nggak boleh makan es krim? Ini biar pikiran kamu lebih fresh.”

“Ya deh iya, makasih,” aku tersenyum tipis.

“Asal hati kamu jangan ikut-ikut dingin ya,” Alfa tertawa.

“Tuh kan mulai lagi,” aku mencubit lengan Alfa.

“Aduh duh, ampun, nggak lagi deh,” Alfa mengangkat tangannya yang mengisyaratkan peace. Aku hanya membalas dengan senyum sinis.

“Udah habis kan, ayo pulang,” ajak Alfa

“Ayo,” aku memberikan helm sambil berkata, “Pasangin dong.”

“Dasar manja.”

***

HARI belum terlalu larut, tapi Ayah sudah pulang bekerja. Aku yang sedari tadi digantungkan dengan berbagai pertanyaan, dan pertemuan yang tak disangka-sangka, aku pun memberanikan diri untuk bertanya pada Ayah.

“Yah?”

“Iya sayang, kenapa kelihatan tegang gitu?”

“Ibu benar-benar udah meninggal ya?

“Kenapa kamu tiba-tiba nanya kaya gitu sama Ayah?

“Jawab dulu, Yah!” aku mulai menatap Ayah dengan tak kuasa membendung air mata.

“Ibu udah meninggal sejak melahirkan kamu, kan ayah udah sering cerita.”

“Ayah bohong! Aku tadi lihat, orang yang mirip sama Ibu!” suaraku meninggi dan air mataku pun mengalir deras.

Ayah hanya diam. Mungkin sedang memikirkan alasan untuk mengelabuhiku.

“Kalau Ibu udah meninggal, kenapa, Ayah nggak pernah ngajak aku ke makam Ibu?”

“Ayah cuma...,”

Tok tok tok. Seseorang mengetuk pintu dan memutus percakapanku dengan Ayah.

Aku membuka pintu, dan ternyata.

“Selamat malam, apa benar ini rumah dari Pak Tio Prastowo?” salah satu polisi bertanya padaku, namun aku tertegun dengan kembali bertanya-tanya, apa yang terjadi?

“Benar Pak,” Ayah menyahut dari belakangku.

“Ayah? Kenapa?” aku menatap Ayah serius tapi Ayah nampak tidak peduli.

“Maaf, kami mendapat surat penangkapan untuk membawa bapak ke kantor polisi, karena kasus korupsi,” sambung Pak Polisi itu.

“Enggak, Ayah saya nggak mungkin korupsi. Yah, Pak Polisi ini bohong kan? Ayah jangan ngeprank ya, ulang tahun aku masih lama lo,” aku memegang tangan Ayah dengan erat, tapi Ayah hanya diam.

“Maafin, Ayah,” Ayah mengusap-usap pipiku, dan nampak air matanya mengalir.

“Mari, Pak,” Salah satu polisi mulai memborgol tangan Ayah.

“Jangan bawa Ayah saya Pak,” aku memohon pada Polisi sambil menunduk dan memegangi kaki Polisi itu.

Ayah ikut menguatkanku dengan berkata, “Ayah akan baik-baik aja, kamu nggak perlu mikirin Ayah.”

Polisi mulai membawa Ayah keluar gerbang, namun Bik Sarmi menahanku. Aku berlari ke kamar dan menangis sejadi-jadinya.

***

BIK Sarmi membangunkanku, dan memberi tahu bahwa Alfa sudah menunggu di ruang tamu. Aku tidak menjawab. Mataku sembab, karena menangis semalaman.

“Non, ini bajunya. Mas Alfa udah nunggu.”

Aku masih memikirkan kejadian tadi malam. Aku berniat untuk tidak lagi sekolah, tapi aku tidak boleh egois, aku harus membuat Ayah bangga.

“Gie,” Alfa yang melihatku dengan kondisi yang begitu lesu, lansung berdiri dan menghampiriku. “Kamu sakit ya?”

“Enggak,” jawabku dengan suara yang agak serak.

“Kalau sakit nggak usah masuk ya?”

“Aku bilang aku nggak sakit,” tanpa sengaja, aku membentak Alfa.

“Ya udah, ayo berangkat,” ajak Alfa.

Aku tidak mengiyakan, tapi berjalan keluar lalu diikuti Alfa.

Alfa tidak memberanikan untuk bertanya padaku, ataupun membuat gombalan-gombalan yang garing itu.

Di sekolah pun, aku mengasingkan diri. Aku tidak mau bicara dengan siapapun, tapi di setiap sudut sekolah, ada saja yang melihatku dengan heran, ada pula yang bisik-bisik pada temannya.

Alfa duduk di sampingku, dan berusaha merayu.

“Nggak capek apa? Orang ganteng kaya aku dianggurin?”

“Apaan sih, garing,” jawabku ketus.

“Jalan-jalan yuk?”

“Kan masih waktunya sekolah, aku nggak mau bolos.”

“Jalan-jalan keliling sekolah aja.”

“Gaje banget sih.”

“Udah, ayo,” Alfa menggenggam tanganku lalu mengajakku berkeliling sekolah.

Ada beberapa murid yang berkerumun di taman. Nampaknya ada yang sedang merayakan ulang tahun.

Alfa mengajakku menghampiri kerumunan itu. Aku hanya diam dan mengikuti Alfa.

Potong kuenya, potong kuenya, potong kuenya sekarang juga, sekarang juga, sekarang juga,” semua murid yang menyaksikan, bernyanyi dengan begitu bahagia.

Semua mendapat bagian kue, termasuk aku. Alfa yang melihatku hanya diam, mengambil kue ku lalu menyuapiku.

“Ini,” Alfa menyodorkan kue padaku, lalu tersenyum.

Aku pun menggigit ujung kue itu. “Makasih,” aku membalas senyum Alfa.

Aku senang, masih ada Alfa yang mampu membuatku tersenyum. Bahkan sekecil apapun hal yang dia lakukan untukku, berada disampingnya sudah lebih dari cukup.

***

TOK tok tok.., aku segera membukakan pintu dan aku terkejut melihat seseorang yang mengetuk pintu itu ternyata.

“Gie, kamu sekarang udah besar, Ibu kangen banget sama kamu,” ucap seorang perempuan paruh baya yang mengaku sebagai Ibuku.

Aku dengan cepat menutup pintu, tapi Ibu menahannya.

“Gie, maafin, Ibu sayang,” Ibu memelukku sambil mengusap rambutku.

“Ibu jahat,” aku melepaskan pelukan itu lalu berlari ke kamar.

Aku berkemas-kemas dan menghubungi Erlyn.

Halo Lyn. – Gieska

Iya ada apa Gie, kok suaranya lagi nangis gitu? – Erlyn

Nanti aja aku cerita, aku ke rumah kamu ya? – Gieska

Ya deh, aku tunggu. – Erlyn

Aku segera membawa tasku dan mengabaikan Ibu yang sedang duduk di ruang tamu.

“Gie, kamu mau kemana?”

Aku tidak menjawab, aku bergegas melajukan mobil dengan kecepatan tinggi.

“Bik, Gie mau kemana?” Tanya Dewi pada Bik Sarmi.

“Bu Dewi nggak usah khawatir, pasti non Gieska lagi ke rumah temannya.”

“Pasti, Gie kecewa sama saya ya, Bik?”

“Ibu yang sabar ya, nanti non Gieska pasti paham kok, Bu.”

“Ya semoga aja ya, Bik? Terus, Bapak lagi kerja ya?”

“Kemarin malam, Bapak bawa ke kantor polisi karena kasus korupsi.”

“Ya Allah, Bik Sarmi temenin saya ke kantor Polisi ya?”

“Iya Bu.”

***

ERLYN sudah menyambut di depan rumah. Aku menghampiri Erlyn sambil berlari, lalu memeluk Erlyn erat-erat.

“Kamu kenapa, Gie?”

“Cerita di dalem aja,” sambil melepas pelukan.

Di dalam kamar Erlyn, aku menceritakan semua masalah yang terjadi.

“Ya ampun, yang sabar ya, Gie,” Erlyn menepuk-nepuk pundakku.

“Ya udah lah Lyn, jangan di bahas lagi, aku mau nenangin diri dulu.”

“Ya udah, jangan nangis lagi dong,” Erlyn terkekeh. “Oh iya, gimana kelanjutan hubungan kamu sama, Alfa?”

“Emm, dia ganteng sih, humoris, multitalent, tapi sayang, dia suka modus ke banyak orang.”

“Ya dia emang gitu, tapi aku yakin kok, dia itu orangnya setia.”

“Tapi kan, kalau cuman deket nggak ngasih kepastian, sakit tahu nggak di gantungin?”

“Oh jadi kamu sekarang di gantungin sama Alfa?” Erlyn tertawa.

“Ih, enggak,” aku salah tingkah karena pertanyaan Erlyn.

“Enggak tapi pipinya merah gitu,” Erlyn menggodaku.

“Eh, tapi Alfa itu pernah punya pacar nggak sih?”

“Pernah, tapi nggak tahu, masih langgeng apa udah putus.”

“Siapa?”

“Kalau nggak salah namanya, Raina.”

“Dia satu sekolah nggak sih sama kita?

“Dia beda sekolah.”

“Tapi, kalau misalnya dia masih pacaran sama, Raina, apa Alfa deketin banyak orang cuman buat mainan aja?”

“Jangan mikir yang buruk-buruk, ya semoga aja dia beneran suka sama kamu. Setahu aku sih, dia itu lebih romantis sama kamu daripada sama orang lain. Buktinya dia mau jemput tiap hari.”

“Tapi kalau dia nggak serius sama aku, apa salah kalau aku udah suka sama Alfa?”

“Cinta itu nggak pernah salah, caranya mempersatukannya itu yang sering membolak-balikkan perasaan.”

“Kamu bener  Lyn. Oh iya, maaf ya ngrepotin kamu.”

“Nggakpapa, lagian aku seneng kamu kesini. Orang tua aku lagi ke rumah kakek aku yang lagi sakit.”

“Kamu sahabat yang paling ngertiin aku banget,” aku memeluk erat Erlyn.

***

SATU panggilan dari Alfa, dengan segera aku jawab.

Hai Al. – Gieska

Aku udah di depan rumah kamu nih. – Alfa

Maaf aku nggak kasih tahu kamu, aku udah berangkat sama Erlyn. – Gieska

Ya udah deh. – Alfa

Aku memutus sambungan dan berangkat ke sekolah.

Aku sengaja tidak menemui Alfa karena ingin stalking tentang hubungan Alfa dengan Raina.

Aku mencari akun media sosial dan dalam satu detik aku dihancurkan dengan satu status hubungan Alfa dengan Raina.

Aku bahkan tidak pernah menyangka setelah apa yang selama ini aku percayakan padanya selama ini, akan diluluhlantakkan dengan satu penghianatan.

Aku salah sudah menempatkan Alfa pada satu ruang di hatiku.

Yang aku pikir selama ini benar, dia hanya mempermainkanku.

Di persimpangan kelas aku tidak sengaja melihat Alfa sedang menggoda seseorang dengan tawanya yang seperti tak berdosa.

Saat Alfa menoleh padaku, aku menunjukkan muka penuh amarah.

Sampai sepulang sekolah pun aku berusaha menghindari Alfa. Aku tidak mau tahu lagi tentang Alfa. Sudah cukup sampai disini saja hubunganku dengannya.

Cinta memang menuntut penyelesaian. Tapi penyelesaian selalu ada pihak yang tersakiti sebagaimana aku yang diam-diam ditusuk dengan penghianatan.

Komentar

Postingan Populer