Part 4
Asing ; bagian 1
“Ayah,” aku berteriak dan tak kuasa menahan air mata.
Orang yang selama ini membesarkanku sendiri, dengan jeri
payahnya sampai rela dipenjara, kenapa harus kau ambil nyawanya Tuhan?
“Sabar Gie, aku turut berduka cita ya,” Erlyn berusaha
menguatkanku dengan memelukku.
“Antar aku pulang ya?”
“Iya, kita siap-siap dulu ya?”
Aku mengiyakan sambil mengemasi baju-bajuku.
Sampai di depan rumah, semua orang sibuk menyiapkan untuk
mengurus jenazah Ayah. Aku berlari ke dalam rumah lalu memeluk Ayah yang sudah
terbujur kaku.
“Ayah, bangun! Ayah jangan bercanda,” aku menangis
sejadi-jadinya.
Aldo menghampiriku, lalu memepuk pundakku.
“Gie, yang sabar ya? Aku janji bakal jagain kamu.”
“Kenapa, Ayah bisa meninggal? Ayah kan nggak pernah punya
riwayat sakit Do.”
“Ayah terkena serangan jantung sayang,” sahut Ibu yang
duduk di sebelahku dan mengelus-elus rambutku.
Aku benar-benar salah sudah jatuh cinta pada Alfa. Bahkan
saat aku membutuhkannya, dia tidak hadir di sini, kenapa justru Aldo yang
menemaniku saat ini?
Kenapa masalah ini hadir bertubi-tubi? Kenapa bukan aku
saja yang di ambil nyawanya sama Tuhan?
Sepulangnya dari pemakaman Ayah, Aku, Aldo dan Ibu
berkumpul di ruang tamu.
“Gie, udah saatnya kamu tahu kenapa Ibu baru hadir dalam
kehidupan kamu sekarang.”
Aku hanya diam, tidak menggubris yang dikatakan Ibu. Aku
masih syok dengan kematian Ayah. Mataku begitu sembab, wajahku pun sayu.
“Seharusnya Ibu ceritain ini sama Ayah supaya kamu
percaya. Dulu Ibu pernah difonis penyakit kronis. Dan setelah Ibu melahirkan
kamu, Ibu memutuskan untuk mencari pengobatan di luar negeri. Karena Ibu nggak
mau nyusahin kalian berdua, Ibu minta sama Ayah, supaya kamu dibesarkan sama
Ayah. Setelah empat tahun Ibu berjuang melawan penyakit itu, Ibu akhirnya
sembuh. Tapi, saat Ibu pulang, Ayah sudah membawa kamu pindah ke Jakarta.
Mungkin Ayah mengira kalau Ibu sudah meninggal karena Ibu sudah lose contac
selama dua tahun. Dan sejak itu Ibu terus mencari kalian.”
“Jadi, itu alasan, Ayah kenapa selama ini nggak pernah
ngajakin ke makam, Ibu? Karena, Ayah sebenarnya juga belum tahu pasti kalau Ibu
masih hidup atau emang udah meninggal?”
“Iya, sayang.”
Aku pun memeluk Ibu dengan erat.
“Oh iya, Gie. Waktu, Tante Dewi sama aku ke kantor
Polisi, Ayah kamu punya amanah sebelum meninggal. Ayah kamu minta supaya, aku
jagain kamu.”
“Bener Bu?”
“Iya sayang,” sahut Ibu sambil mengelus-elus rambutku.
“Jadi gimana, Gie? Kamu mau kan balikan sama aku?”
“Oke, tapi aku butuh waktu buat ngeyakinin diri kalau
kamu bener-bener berubah.”
“Aku bakal buktiin sama kamu.”
“Kita jalanin aja dulu.”
***
SUDAH
empat puluh hari meninggalnya Ayah, selama itu pula hubunganku dengan Aldo
berjalan dengan lancar.
Kalau saja bukan Ayah yang meminta Aldo untuk menjagaku,
mungkin itu satu-satunya cara agar aku dapat mengasingkan diri dari Alfa.
Meskipun begitu, setiap kali aku berpapasan dengan Alfa,
aku tidak pernah bisa menghalangi pandanganku padanya.
Aku tidak tahu dengan jelas dengan sikap Alfa. Sejak aku
memutuskan untuk kembali menjalin hubungan dengan Aldo, Alfa tidak pernah
sekalipun menggoda perempuan seperti yang biasa Alfa lakukan selama ini.
Sesekali aku pernah mengamati Alfa yang nampak sendu,
sambil bermain gitar. Alfa pun sempat memberiku satu puisi, tapi setiap kali
membacanya selalu berujung tangis.
Bersikap manis pun, kalau ke semua orang, hanya akan menyakiti
perasaan. Ketika terlanjur jatuh cinta, harus siap dengan segala resikonya.
“Gie, besok kita jalan yuk,” seru Aldo.
“Kemana?”
“Kemana aja boleh, asal bikin kamu seneng,”
“Tapi aku nggak janji, kalau tiba-tiba ada kepentingan
yang mendadak.”
“Yang penting kamu kabarin aku ya?”
“Iya,” aku tersenyum lesu.
“Ya udah, aku pamit dulu ya?” Aldo mengacak-acak
rambutku.
“Iya, hati-hati,” aku mengantarkan Aldo sampai di teras.
Ibu yang mendengar Aldo sudah pulang, menyusulku ke
teras.
“Sayang, Aldo udah pulang ya?”
“Iya Bu.”
“Masuk yuk, Ibu mau tanya sesuatu sama kamu.”
“Tentang apa?”
“Udah ayo masuk dulu,” Ibu menggandengku masuk lalu
mengajak untuk duduk di sofa.
“Gini, kamu itu sebenarnya sayang nggak sih sama Aldo?”
“Ya gitu, gimana ya, ceritanya tuh panjang.”
“Tapi kalau Ibu perhatiin sejak Ayah meninggal, hubungan
kamu sama Aldo itu nggak ada kemistrinya gitu.”
“Ih, Ibu nih kaya sutradara aja,” aku terkekeh.
“Bener loh, kalian itu kaya air sama minyak, nggak bisa
nyatu gitu lah.”
“Mungkin karena udah pernah pacaran, jadi udah biasa aja.
Biar bagaimanapun, semua hal yang diulangi itu hasilnya nggak akan sama.”
“Tapi kenapa kamu mau sama Aldo kalau kamu udah nggak
sayang?”
“Itu satu-satunya cara, Bu.”
“Maksud kamu? Kamu menghindar dari orang lain, sedangkan
Aldo cuma jadi pelampiasan kamu?”
“Aku nggak berniat untuk jadiin Aldo itu pelampiasan,
cuma, kalau cinta itu butuh proses, mungkin aku bisa melupakan dia.”
“Dia siapa?”
“Dia orang yang menghancurkan kepercayaanku dengan satu
penghianatan yang besar,” aku mulai menitikkan air mata di depan Ibu.
“Gini ya sayang, terkadang dunia punya begitu banyak
kejutan di atas kehidupan. Bisa kebahagiaan, bisa juga penghianatan.”
“Tapi apa adil kalau yang tersakiti cuma satu pihak?”
“Suatu saat, rasa sakit itu akan digantikan sama Tuhan,
sayang,” Ibu mengelus-elus pundakku.
“Tapi, apa salah kalau sampai detik ini, aku suka sama
dia?”
“Cinta itu butuh yang namanya bertahan. Bertahan sampai
kapan pun, karena kamu percaya. Kalau kamu percaya dia akan kembali, jangan ubah
kepercayaan itu.”
“Kalau kepercayaanku suatu saat nanti salah?”
“Ya kamu pepet terus sampai dapet,” aku dan Ibu pun tertawa.
***
“GIE,
ada Aldo tuh,” Ibu memanggilku yang sedang sibuk mengemas gitar.
“Aduh, aku lupa ngasih tahu, Aldo. Iya, sebentar.”
“Aldo, nggak masuk dulu?”
“Nggak usah, Tante, saya tunggu di sini aja.”
Aku berlari keluar lalu nampak Aldo yang mulai kesal,
melihatku membawa gitar.
“Kok bawa gitar,” tanya Aldo sedikit kesal.
“Maaf ya, aku lupa ngabarin, hari ini harus ke sekolah,
ada latian buat lomba. Nggakpapa kan?”
“Ya udah aku anter aja,” jawab Aldo yang sepertinya tidak
berani memarahiku karena ada Ibuku.
“Nggak usah, aku bawa mobil sendiri aja, nanti malah kamu
harus nungguin aku.”
“Nggakpapa, nanti aku tunggu sambil nongkrong dulu aja
sama temen-temen.”
“Tapi,” belum sampai aku jawab Aldo pun menyahut.
“Udah, Gie nanti keburu telat.”
“Ya udah deh, aku pamit ya Bu?” aku mencium tangan Ibu.
“Iya, hati-hati.”
Aldo hanya mengantar sampai di depan gerbang.
“Kamu langsung pulang nggakpapa, aku naik taksi aja.”
“Kamu bilang gitu supaya kamu dianterin Alfa kan?”
“Kok jadi Alfa sih?”
“Udahlah, pasti kamu juga janjian sama Alfa kan buat
latihan?”
“Udahlah Do, nggak usah ngajakin berantem,” aku
meninggalkan Aldo yang masih saja nampak di depan gerbang.
Aku menyusuri lorong yang begitu hening. Aku berharap
hari ini bisa mengasingkan diri dari Alfa.
Meskipun sikap Alfa yang lebih romantis daripada Aldo,
tapi aku kesal jika harus bertengkar dengan Aldo yang selalu membahas tentang
Alfa.
“Hai, Gie,” suara yang tak asing itu tiba-tiba
menghampiriku dan suara decitan lantai yang bergesekan dengan sepasang sepatu,
membuatku dengan spontan melihat ke belakang.
“Hai,” jawabku dengan ekspresi yang datar.
“Datar banget sih?”
“Terserah aku lah,” jawabku ketus.
“Cantiknya hilang loh,” Alfa menggoda sambil mencubitku.
“Ih, kok nyubit sih,” aku membalas cubitan Alfa dan
dengan reflek aku pun tertawa.
“Gitu dong, kalau ketawa kan nambah cantiknya.”
“Apaan sih.”
Di dalam ruang musik, Alfa nampak diam-diam melirikku dan
ketika aku melihatnya, Alfa pura-pura memperhatikan Pak Prabu selaku guru
kesenian dan Pembina ekstrakulikuler musik di sekolah ini.
“Oke, sekarang, Bapak akan membagi menjadi dua kelompok
dan siapa saja yang akan memegang alat musik dan siapa yang vokal. Nanti akan
ada seleksi, yang terbaik yang akan diikutkan lomba.”
“Semoga aku nggak satu kelompok sama, Alfa,” gumamku.
“Kelompok satu...”
“Aduh, bakal satu kelompok sama, Alfa,” aku menggerutu
sendiri.
“Kelompok dua, drum Tirta, vokal Erlyn, dan gitaris
Gieska sama Alfa.”
Alfa melambai sambil tersenyum puas. Sedangkan Erlyn
sibuk PDKT dengan Tirta, yang ada di sebelahnya.
Ya Tuhan, takdir baik atau buruk harus satu kelompok
dengan Alfa.
“Sekarang kalian bisa bergabung dengan anggota
kelompoknya masing-masing dan memulai untuk membuat lirik lagu. Jadi, Bapak
harap kita bisa menampilkan lagu ciptaan kita sendiri,” seru Pak Prabu.
“Oke, kita mau bikin lagu dengan genre apa?” tanyaku
membuka diskusi.
“Gimana kalau kita gabungin sama musikalisasi puisi?
Jadi, waktu intro bisa kita isi sama puisi. Kan kamu sama Alfa bisa tuh bikin
puisi, nanti masalah lirik gampang lah,” sahut Erlyn sambil memberi kode agar
aku mendapat kesempatan bersama Alfa.
“Kalau aku sih setuju, ya seperti lagunya virgoun, fiersa
besari, anji, itu kan ada yang diisi sama puisi. Tapi bukan berarti kita
njiplak, bisa kita jadiin referensi lah,” seru Tirta.
“Oke, tapi inti dari lagunya gimana nih?” seruku.
“Gini aja, isinya tentang seseorang yang jatuh cinta,
tapi dikecewakan. Dan pada akhirnya, orang ini tetap yakin sama perasaan yang
dia simpan, meskipun harus menjalin hubungan dengan orang lain, tapi hatinya
tidak pernah sepenuhnya diberikan pada orang itu. Nah, puisinya juga sama,”
Erlyn melontarkan pendapatnya sambil melirikku.
Komentar
Posting Komentar