Prolog dan Part 1
Prolog
AKU Gieska Aurora Prastowo, dari namaku, sudah bisa kalian tebak, kalau nama Prastowo diambil dari nama turun temurun keluargaku. Dan hari ini, hari di mana aku pertama kali menginjakkan kakiku di salah satu SMA di Jakarta.
Sejak kecil aku diajari oleh Ayah, supaya menjadi wanita yang kuat dan tidak mudah direndahkan. Kehilangan seorang ibu, bukan berarti aku harus menjadi wanita lemah.
Di sekolah inilah, kisah cintaku dimulai. Ketika pertemuanku dengan Alfa Lingga Hermawan, salah satu kakak kelas yang terkenal karena multitalentnya, menuntunku pada begitu banyak kejutan.
Ketika waktu yang terus berputar. fakta-fakta tentang Alfa begitu mengejutkanku. Tidak ada yang tidak berujung konflik setelah terungkap semua kebohongan.
Cinta memang selalu membolak-balikkan perasaan. Ketika kebahagian dihancurkan dengan satu penghianatan, apakah dia masih pantas untuk diperjuangkan.
Kita memang belum memulai apapun. Tapi ketika terlanjur jatuh cinta tidak ada yang salah dengan sakit hati.
Siapa Dia?
Kerrttt.. Suara jendela yang
sedikit berkarat membuat pandangan seluruh murit di kelas tertuju padaku.
Sedangkan aku acuh dengan tatapan mereka.
“Eh, jam segini baru dateng?”
seseorang memukul pundakkau dari belakang. Dia adalah Louren Emerlyn, atau
biasa di panggil Erlyn.
“Lagian sekolah dari dulu
nggak berubah, masuknya aja pagi banget, jam segini tuh, enaknya tidur,”
jawabku ketus.
“kalau nggak niat sekolah,
mending dari dulu nggak usah sekolah,” sahut Erlyn.
“Selamat pagi semua,” suara
langkah kaki Bu Klara membuat decitan lantai terdengar rusuh.
“Pagi Bu,” jawab serentak.
“Hari ini Ibu akan memeriksa
kerapian dan kelengkapan belajar. Jadi, letakkan tas kalian di atas meja, dan
berdiri semua.”
“Alahh, repot banget, kaya
anak TK aja,” aku dengan santainya bajuku ku biarkan tidak kumasukkan dan
melipat bagian lenganku.
Tiba-tiba Bu Klara
menghampiriku dan banyak berkomentar padaku.
“Gie, kenapa bajunya kamu
lipat-lipat gitu? Cepat masukin, dasinya juga nggak dipakai,” Bu Klara sibuk
membuka lipatan bajuku dan melihat perlengkapanku.
“Kalau dimasukin, nati gerah
Bu,” aku berusaha merayu Bu Klara.
“Kamu ini ngeyel banget ya,
anak TK aja kalau dibilangin nurut, kamu yang udah gede malah bandel! Terus,
kamu ini niat sekolah apa nggak sih? Yang dibawa kok cuma satu buku tulis sama
satu bolpoin?” Bu Klara tak henti-hentinya menyalahkanku, dan seluruh anggota
kelas tertawa keras padaku.
“Yang penting kan bawa alat
tulis Bu, ini alatnya, nah kalau udah dicoret di buku, namanya tulisan,” semua
kembali menertawakanku, namun aku tidak peduli.
“Kamu ini, kalau dibilangin
malah jawab aja,” Bu Klara mulai meledak-ledak. “Sekarang kamu keluar, kamu
nggak boleh masuk sebelum jam istirahat,” tambah Bu Klara sambil menggebrak
mejaku, sedangkan aku diam dan melihat otot-otot tangan Bu Klara mulai
menjulang tinggi.
“Aduh kaget,” ledekku, dan
suasana kelas kembali rusuh.
“Hey,” Bu Klara menggebrak
mejaku sekali lagi.
“Misi Bu,” aku berlari
menghindar dari Bu Klara.
“Udah, sekarang kalian boleh
duduk! Kita mulai pelajarannya,” Bu Klara kembali ke mejanya. “Buka halaman
53.”
“Siap Bu,” jawab serentak semua murid.
***
“SEKOLAH apaan sih ini? Gitu doang dimarahin, yang penting
kan dateng ngisi absen, udah simpel,” aku menggerutu sambil berjalan keluar
kelas.
Aku tak sengaja melihat salah
satu anak dari kelas IPS sedang berbicara sebentar dengan salah satu guru dan
pergi ke perpustakaan. Aku penasaran dengan anak itu, aku pun memutuskan untuk
mengikutinya.
Nampaknya dia sudah sangat
familiar, bahkan saat dia memasuki perpustakaan, ada yang diam-diam mengambil
fotonya, ada yang diam-diam melirik, bahkan ada yang menyapa sampai baper
sendiri.
Aku mengambil satu buku dan
duduk disampingnya.
”Boleh kenalan nggak?”
Dia hanya diam. Dan aku
kembali mengajukan pertanyaan yang sama.
“Exscusme, kamu denger nggak
sih?
“Ssttt… ini perpustakaan bukan
pasar,” sahut penjaga perpustakaan.
Aku menatapnya dengan banyak
pertanyaan. Apa yang mereka kagumi darinya? Dia hanya seorang orang yang ketus,
dan aku rasa tak ada satupun hal yang dapat aku kagumi. Pandanganku sampai pada
baju bagian dadanya. Terlulis nama Alfa Lingga H.
“Kamu suka baca buku kebalik
gitu ya?” wajah Alfa heran kemudian berubah menahan tawa.
“Hah?” aku melihat buku yang
aku pegang ternyata terbalik. “Aduh, malu-maluin aja,” bicaraku dalam hati.
“Kamu anak IPA kan?”
“Iya, kok tahu?”
“Kelas kita kan sebelahan,
yang tahu lah.”
“Iya ya, kenapa jadi tolol
gini sih,” seruku lirih.
“Ke taman yuk,” Alfa memegang
tanganku dan membawaku keluar tanpa menunggu jawaban iya dariku.
Suasana taman begitu sepi,
karena belum waktu untuk istirahat.
“Ngapain kesini?”
“Ya kalau disini, ngobrolnya
lebih enak. Kalau di perpus kan ganggu orang lagi baca buku.”
Sekarang aku malah diam seribu
bahasa. Tidak bisu, tapi rasa canggung tiba-tiba menyerbu. Alfa akhirnya
memecah keheningan di antara kami.
“Gi, kamu bisa main gitar
kan?”
“Bisa, dari mana kamu tahu? “
“Erlyn yang bilang.”
“Erlyn? Kamu tahu apa aja
tentang aku?”
“Banyak, salah satunya itu.”
“Sedekat apa kamu sama, Erlyn
sampai nanya-nanya tentang aku?”
“Kalau aku pacarnya, Erlyn,
menurut kamu gimana?
“Nggak percaya. Mana ada sama
pacarnya nanya tentang perempuan lain,” jawabku dengan bahasa tubuh nampak
menegaskan pada Alfa.
“Emang kamu pikir pacaran itu
harus selalu bahas tentang hal-hal pribadi pasangannya aja gitu?”
“Ya kalaupun kamu pacarnya,
Erlyn, aku kasih tahu, perempuan itu pemilik hati yang paling mudah rapuh,
jangan sekali-kali nyakitin hati perempuan.”
“Wih keren,” senyumnya tampak
mengembang seperti kagum.
“Biasa aja,” aku tersipu
sambil memukul lengannya.
“Dih, kasar banget jadi
cewek.”
“Gitu aja sakit,” aku
memincingkan satu alisku.
“Yang sakit itu kalau kamu
nggak sadar diri, padahal aku mulai suka sama kamu.”
“Gombal.”
“Yah, baru mulai aja udah dibilang
gombal.”
“Biasanya kalau orang suka
bicara sok puitis kaya gitu, pasti cuma modus.”
“Itu orang lain, kalau aku
beda lah, jangan disama-samain dong. Hargai jasa-jasa orang yang PDKT gini,”
Alfa memasang wajah sombong.
“Ih dasar aneh.”
Ternyata aku salah menilai
Alfa. Orang yang aku pikir tidak peduli, bahkan bisa sedekat nadi.
***
WAKTU dengan cepat memutus perbincanganku dengan Alfa.
Bel istirahat berdering keras, dan semua berhamburan ke kantin.
“Gie,”
seseorang memanggil sambil melambaikan tangan.
Sudah
ku duga, itu pasti Erlyn. Aku pun meninggalkan Alfa. “Duluan ya, bye.”
Alfa hanya tersenyum tipis.
“Ke kantin yuk,” ajak Erlyn.
“Ah, males.”
“Aku traktir deh,” bujuknya.
“Oke sip,” aku menarik tangan
Erlyn.
“Kalau denger kata traktir
aja, baru semangat,” ledek Erlyn.
“Mau makan apa? Pesennya
jangan banyak-banyak,” sambungnya.
“Pelit banget sih,” aku
menatap sinis.
“Bukannya pelit, cuma hemat.”
“Bu, pesen bakso sama es teh
nya dua ya.”
“Iya, siap,” jawab Bu Sri
pengelola kantin.
Aku sengaja mencari tempat
duduk di bagian paling pojok, karena ada tembok untuk bersandar.
“Ngapain di pojok sih?”
“Butuh sandaran aja,” aku
tertawa.
“Sandaran aja sama Alfa,”
ledek Erlyn.
“Eh, btw, kamu cerita apa aja
sama Alfa,” tatapanku mengintimidasi.
“Wiat wait, biasa aja dong
kalau nanya.”
“Lyn, serius.”
“Ini pesenannya,” Bu Sri
memotong percakapan dengan meletakkan dua mangkok bakso dan es teh.
“Makasih Bu,” senyumku
menghormati.
“Oke, jadi gini, Alfa itu
beberapa hari yang lalu, tiba-tiba minta nomor hp kamu, terus nanya-nanya
tentang kamu juga.”
“Kamu punya hubungan apa sama
Alfa, kok nggak pernah cerita.”
“He he, dulu, Alfa pernah
deket sih, tapi nggak sampai pacaran. Nah, mungkin sekarang dia suka sama
kamu.”
“Tuh kan, katanya temen, tapi
nggak pernah cerita kalau punya gebetan.”
Komentar
Posting Komentar