Siapa Dia? part 2
Bagian 2
AKU berhenti tepat di depan rumahku dengan mobilku. Aku lelah dengan hari ini, aku merindukan masa kecilku dan juga Ibuku. Kenapa waktu begitu cepat mengambil masa kecil itu? Dan apa Tuhan menunjuk Alfa sebagai seseorang yang akan merubah keterpurukan itu?
“Masa iya, Alfa suka sama aku?” aku bertanya sendiri.
“Ah, aku bakal lelah sendiri kalau mikirin orang lain,”
aku berjalan masuk dan melihat ada Aldo di ruang tamu.
Aldo adalah mantan pacarku yang saat ini satu sekolah
denganku. Nama lengkapnya, Rifaldo Arie Michael.
Memang, Ayahku pernah menyetujui hubungan kami. Namun
semenjak hubungan kami berakhir, Aldo berkali-kali mengajakku untuk berhubungan
lagi dengannya. Tapi aku mengacuhkannya.
“Gie,” panggil Aldo.
Aku bahkan tidak menjawabnya. Namun tangan Aldo dengan
sigap mencengkram lenganku.
“Ngapain lagi kamu kesini?”
“Aku mau kita balikan lagi,” tatapan melasnya membuatku
mual.
“Nggak,” jawabku singkat dan berusaha menghindar, namun
Aldo malah semakin mencengkram tanganku. “Aldo, lepasin.”
“Please, jangan gantungin aku kaya gini.”
“Aku nggak mau! Lepasin tangan kamu!” suaraku meninggi.
“Kamu kenapa sih? Aku udah berjuang, tapi kamu malah
sia-siain.”
“Berjuang kamu bilang. Pergi beberapa tahun, dan itu yang
kamu sebut berjuang?” aku membulatkan tekat untuk membentaknya.
“Maaf, kalau soal itu aku,” belum selesai Aldo bicara,
aku memotong percakapan itu.
“Aku kenapa? Lebih baik kamu pergi dari sini,” aku
menunjuk pintu depan.
“Gie, Please,” Aldo kembali mencoba memegang tanganku,
dan aku berhasil menghindar.
“Bik.”
“Iya non.”
“Tunjukin orang ini pintu keluarnya, tadi nyasar,” mataku
menatap tajam pada Aldo dan aku pergi ke kamar.
“Ayo den, Bibik antar ke depan.”
“Nggak usah, Bik, saya permisi.”
Aku lega dia pergi, percuma juga aku balikan sama dia. Lagipula, sikapnya pasti tidak akan pernah berubah.
***
“HAI
sayang, dari tadi kok di kamar terus, ayo makan malam sama, Ayah.”
“Iya yah.”
“Oh iya. Tadi, Aldo ke rumah ya?”
“Iya,” jawabku singkat.
“Ngapain?”
“Udahlah yah, jangan ngomongin Aldo.”
“Ya udah. Gimana sekolah kamu hari ini? Kamu nggak
terlambat lagi kan?”
“Ya gitu, biasa aja. Lagian kenapa sekolah harus
pagi-pagi banget? Jam segitu, enaknya kan tidur.”
“Loh, kamu ini gimana sih? Yang namanya sekolah itu, dari
dulu ya masuk pagi. Ya, kalau kamu mau jadi pengangguran, mending nggak usah
sekolah sekalian.”
“Nggak mau lah.”
“Makanya, mulai sekarang kamu harus fokus sekolahnya.
Jangan kecewain, Ayah. Kalau dalam semester ini kamu nggak dapet nilai yang
bagus, Ayah akan sita hp kamu, plus uang jajan kamu, Ayah kuragin.”
“Yah, kok curang sih.”
“Jangan protes. Belajar, belajar, belajar, belajar,” seru
Ayah sampai ke kamarnya.
***
“YA
ampun jam delapan,” baru kali ini aku panik karena terlambat. Aku buru-buru
mandi ganti baju, dan turun menuju ruang makan.
“Bik, Ayah udah berangkat?”
“Ya seperti biasa, Bapak kan berangkatnya pagi-pagi,”
jawabnya halus.
“Syukur deh, aku berangkat dulu ya, Bik.”
“Eh tunggu non.”
“Aduh udah telah nih, Bik. Assalamu’alaikum.” Aku melaju
dengan kecepatan tinggi dan aku menghentikan mobilku di depan gerbang yang
sudah ditutup.
Saat aku berusaha memanjat gerbang, Bu Klara memergokiku
sedang menaiki gerbang masuk.
“Hmm,” Nampak sekali Bu Klara begitu marah melihatku.
“Udah jam berapa ini? Anak perawan bangun kesiangan,
tingkah lakunya juga keterlaluan. Gerbang kaya gini dipanjat, kalau ada yang
ngintip gimana?” sambil membukakan gerbang.
“Khilaf Bu,” jawabku seolah tak bersalah.
“Supaya kamu jera, kamu Ibu hukum.”
“Jangan bersihin toilet ya, Bu,” aku tersenyum manis dan
mengedip-ngedipkan mataku.
“Nggak, tapi kamu harus bersihin taman sekolah, sama
laboratorium.”
“What?”
“Ngapain masih disini? Ayo kerjain.”
“Iya Bu,” aku meninggalkan Bu Klara dengan langkah yang
begitu lesu.
Sampai di taman, nampak Alfa sedang membantu Pak Tarji.
Pak Tarji adalah seseorang yang setiap hari mengurus taman.
“Alfa, nggapain kamu disini?”
“Emang nggak boleh bantuin Pak Tarji?”
“Ya kan cuma tanya,” aku memasang wajah kesal.
“Mas Alfa biasanya juga bantuin saya kok, Mbak,” sahut
Pak Tarji.
“Terus, kamu yang ngapain disini? Dihukum kan sama Bu
Klara?” pertanyaan Alfa seperti meledekku.
“Loh, kok tahu?”
“Ya tahu lah,” Alfa tersenyum tipis nampak mencurigakan.
Aku segera membersihkan taman, agar Bu Klara tidak
marah-marah lagi. Tapi sesekali aku tidak sengaja mengetahui Alfa diam-diam
melirikku, dan seperti membisikkan sesuatu pada Pak Tarji dengan
menunjuk-nunjuk padaku.
“Pak, ini sudah selesai kan?”
“Iya, Mbak. Makasih sudah bantuin, Pak Tarji.”
“Sama-sama, Pak,” aku tersenyum sambil menganggukkan
kepalaku.
Baru beberapa langkah aku hendak pergi ke laboratorium,
Alfa memanggilku.
“Gie, kamu mau kemana?”
“Mau ke laboratorium. Kenapa? Mau ikut?”
“Mau lah, apalagi sama kamu,” Alfa memegang tanganku dan
menarikku menuju laboratorium.
Di dalam laboratorium, banyak alat praktikum yang
berdebu. Aku sesekali batuk-batuk karena debu masuk pada rongga hidungku. Alfa
melepaskan ikat kepalanya, lalu mengikatkan padaku agar aku tidak terganggu
dengan debu itu lagi.
“Makasih.”
“Iya,” lalu Alfa hanya tersenyum.
Tepat pada jam istirahat, tugasku sudah selesai. Aku
mengajak Alfa menuju kantin.
“Kamu nggak kapok ya telah tiap hari?” seru Alfa.
“Nggak pernah,” jawabku santai.
“Dasar kebo. Besok aku jemput ya?”
“Emang kamu tahu rumah aku?”
“Belum, tapi akan segera tahu,” Alfa lalu pergi ke kelasnya dan meninggalkanku tertegun di kantin.
***
MALAM
begitu sunyi, entahlah, apakah semua tengah sembunyi?
Di balkon kamarku, aku menikmati secangkir cokelat panas
dan memandangi bintang. Kata Ayah, di langitlah Ibu saat ini. Kalau ibu menjadi
bintang, aku harap salah satu bintang jatuh itu adalah ibu yang kembali ke
bumi.
“Kenapa Ayah nggak pernah ajak aku ke makam Ibu ya?” aku
bertanya-tanya sendiri.
Satu notifikasi memecah lamunanku. Nomor tidak ku kenal
mengirim pesan singkat. “Hai Gie.” Aku mengabaikan pesan itu, lalu beberapa
menit kemudian satu panggilan dari nomor itu lagi.
Halo,
ini siapa ya? – Gieska
Hai Gie, aku Alfa. – Alfa
Oh,
kenapa? – Gieska
Kangen.
– Alfa
Sayang
aku nggak kangen. – Gieska
Yah, besok aku jemput ya? – Alfa
Jemput
aja kalau tahu rumah aku. – Gieska
Aku kan udah bilang, aku bakal
tahu. – Alfa
Pasti
mau tanya sama Erlyn kan? – Gieska
Ya udahlah nggak penting, kamu
jangan lupa pasang alarm. – Alfa
Hmm,
iya iya. – Gieska
Buruan tidur, terus jangan lupa
mimpiin aku. – Alfa
Ya
kalau aku bisa tidur. – Gieska
Kalau nggak bisa tidur, berarti
kamu lagi mikirin aku. – Alfa
Apaan
sih, udah lah aku tutup nih telfonnya. –
Gieska
Ya udah, good night Gie. – Alfa
Seperti yang diminta Alfa, aku memasang alarm. Entahlah,
mungkin aku malam ini benar-benar jatuh cinta pada Alfa. Kalau memimpikan Alfa
mengobati rindu yang tak kunjung temu, maka aku ingin terus memimpikannya.
Setiap hal kecil yang dilakukan Alfa, selalu menciptakan kebahagian yang begitu sederhana. Tidak perlu dengan barang-barang mewah, bertemu dengannya pun sudah lebih dari cukup.
***
HARI
ini aku bangun dengan penuh pertanyaan, apakah benar Alfa menjemputku? Atau
Alfa hanya akan membuatku menunggu karena kata-katanya?
Aku segera merapikan perlengkapan sekolahku, dan dengan
spontan aku menatap seseorang yang tiba-tiba membuka pintu kamarku.
“Non”
“Ada apa, Bik?”
“Itu ada yang ngaku temennya non, katanya mau jemput
non.”
“Siapa, Bik?”
“Katanya namanya, Alfa.”
“Ya ampun, beneran kesini?”
“Ya udah, non langsung berangkat aja, kasian orang
ganteng disuruh nunggu,” ledek Bik Sarmi sambil menyenggol-nyenggol lenganku.
“Ih, Bibik suka ya? Kalau, Bibik suka aku bilangin nih,”
aku membalas dengan melontarkan ledekan pada Bik Sarmi.
Aku berlari menghampiri Alfa yang sudah menungguku di
luar rumah.
“Udah kangen ya? Sampek nyamperin aja lari-lari gitu?”
seru Alfa.
“Ih, biar nggak telat, udah siang nih.”
“Ya udah, ayo naik.”
Alfa pun memasangkan helm di kepalaku. Di perjalanan,
kami begitu hening, terlalu egois untuk memulai percakapan. Aku pun memecah
keheningan itu dengan melontarkan satu pertanyaan.
“Kirain kamu nggak jadi jemput aku.”
“Ya kasian kalau cewek cantik suka telat.”
“Garing.”
“Kok berani ke rumah sih?”
“Emang ngapain harus takut?”
“Ya kan keluarga aku belum ada yang kenal sama kamu.”
“Ya udah, kalau gitu besok aku jemput kamu lagi sekalian
kenalan sama orang tua kamu.”
“Beneran?”
“Oh, atau nanti aja pas nganterin kamu pulang.”
“Ih, jangan becanda deh.”
“Siapa yang becanda sih?”
“Ya, kan orang tua itu nggak bisa langsung percaya gitu
aja. Kalau Ayah nggak suka sama kamu, gimana?”
“Yang penting kamu suka sama aku aja aku udah seneng,”
Alfa tertawa.
“Apaan sih, Al. Nggak lucu.”
“Nggak lucu tapi pipinya merah,” ledek Alfa sambil
melirikku dari kaca spion.
“Apa lihat-lihat? Suka ya?”
“Masa kamu nggak suka sama yang ganteng kaya aku gini?”
“Ganteng-ganteng kalau banyak yang dimodusin, ya aku
nggak mau lah.”
“Emang kamu pernah lihat aku modusin orang lain selain
kamu?”
“Pernah, bahkan banyak banget. Pagi-pagi udah modus di
deket toilet, pas istirahat modus di kantin, pas siang modus di deket perpus,
bahkan mau pulang modus di parkiran.”
“Kamu cemburu kan?”
“Enggak,” aku mengelak.
“Kalau nggak cemburu, nggak mungkin kamu hafalin aku
modus sama siapa aja.”
“Emang apa hubungannya?”
“Ya ada hubungannya lah. Kamu hafalin kesalahan aku,
supaya kalau lagi berantem gini, aku yang salah.”
“Ya emang kamu salah, salah banget malahan.”
“Tuh kan udah mulai nyalahin kan.”
“Makanya, kalau satu ya satu aja, jangan serakah.”
“Iya iya, mau turun apa masih mau berantem?”
“Hah?”
Tanpa aku sadari, ternyata aku sudah sampai di sekolah.
Aku pun lansung berlari meninggalkan Alfa yang sedang memarkirkan motornya.
Hari ini aku benar-benar beruntung karena Alfa
menjemputku. Mungkin ini rekor pertamaku, karena tidak terlambat masuk kelas.
“Cie yang dijemput,” ledek Erlyn.
“Ssttt, jangan keras-keras.”
“Iya iya aman.”
Komentar
Posting Komentar