Part 5
Asing ; bagian 2
SELESAI mempersiapkan band yang akan ikut lomba, aku bergegas menuju ke depan gerbang. Aku tidak mau Aldo marah karena terlalu lama menungguku.
Meski sebelumnya aku, aku sudah mengabari sekitar sepuluh
menit sebelum pulang, tapi Aldo bukan orang yang pengertian.
Pernah menjalin hubungan selama dua tahun, sudah cukup
untuk mengenal sifat baik atau buruknya Aldo selama ini.
Aku yang justru harus menunggu Aldo sekitar lima belas
menit di depan gerbang, tiba-tiba Alfa menghampiriku sambil mengendarai
motornya.
“Nungguin, Aldo ya?”
“Iya,” jawabku ketus.
“Aku temenin ya?”
“Terserah.”
“Oh iya, gimana hubungan kamu sama, Aldo?”
“Baik-baik aja. Kamu sendiri, gimana sama Raina?” dalam
hatiku menahan sakitnya ketika pertama kali mendengar kabar hubungan Alfa
dengan Raina.
“Kamu tahu Raina dari siapa?” tanya Alfa heran.
“Nggak penting.”
“Ya udah berjalan selama satu tahun setengah lah. Tapi
ya, selama itu banyak lah masalahnya.”
Dalam hati, aku berdialog.
“Kalau saja aku minta sama Tuhan untuk memutar waktu, aku
tidak akan bisa mengubah pertemuan Alfa dengan Raina.”
“Oh,” sahutku.
“Kamu beda banget sih sekarang?” seru Alfa.
“Beda gimana?”
“Asing, tapi makin cantik.”
“Apaan sih.”
Datang dari arah selatan mobil Aldo.
“Ayo pulang,” ajak Aldo yang menatapku begitu marah.
“Iya,” aku masuk ke dalam mobil tanpa melambaikan tangan
atau mengucapkan apapun pada Alfa. Karena aku tahu, berdiri di sebelah Alfa
saja, Aldo sudah pasti marah.
“Bener kan yang aku bilang, kamu tadi cuma mau ketemu
sama, Alfa?”
“Kenapa sih kamu selalu marah kalau ketemu Alfa?”
“Aku itu pacar kamu, wajar kalau aku marah. Siapa yang
nggak marah kalau lihat pacarnya sama laki-laki lain?”
“Tapi marah kamu tuh nggak wajar. Apa-apa kamu kaitin
sama, Alfa.”
“Bilang aja kalau kamu masih suka sama, Alfa kan?”
“Udahlah, terserah kamu mau bilang apa, di mata kamu itu
semua kelihatan salah.”
Sudah ku duga, hari ini akan berujung pertengkaran. Aldo memang tempramen, tapi kalau aku harus melepasnya, aku tidak bisa mengasingkan diri dari Aldo.
***
SUASANA
kantin begitu sepi. Entah apa semua orang sedang berpuasa? Aku tidak peduli.
Yang aku inginkan saat ini adalah suasana yang sunyi.
Alfa datang memasang senyum yang membuatku kesal.
“Kenapa harus ke sini sih.”
Bicaraku dalam hati.
“Maaf ya soal kemarin.”
“Kamu nggak salah kok.”
Jawabku ketus tidak menatap matanya, dan pura-pura
mengaduk es teh.
“Pasti kamu berantem kan sama, Aldo?”
“Namanya juga hubungan, ada aja yang bikin berantem.”
“Kenapa nggak diputusin aja?”
“Kalau aku yang minta kamu putusin pacar kamu, karena
kamu suka modusin orang banyak, apa kamu mau?”
Emosiku mulai tidak terkontrol. Aku kembali bertanya
dengan nada yang agak kesal.
“Emang salah, kalau aku modusin orang banyak?”
“Hati perempuan jangan dibuat mainan Al. mentang-mentang
kamu nggak satu sekolah sama Raina, kamu bisa nusuk dia dari belakang?”
“Kamu kenapa sih, Gie?”
“Pikir aja baik-baik ucapan aku.”
Aku meninggalkan Alfa dengan perasaan yang hancur. Aku
menangis dan berlari ke toilet, agar Alfa tidak melihatku.
“Kenapa sih, Alfa nggak bisa sadar?”
“Gie, kamu kenapa?” seru Erlyn sambil mengetuk pintu
toilet.
Aku keluar lalu memeluk Erlyn.
“Aku cerita di kelas aja.”
“Ya udah, jangan nangis oke?”
Aku hanya mengangguk.
“Oh, jadi gitu.”
“Tapi nggak berniat untuk mendoakan, Alfa putus sama pacarnya.”
“Aku paham kok, Gie. Kadang aku juga mau bilang sama,
Alfa supaya di putus sama, Raina. Tapi nggak tega bilangnya.”
“Emang kenapa?”
“Ya meskipun hubungannya udah lama, tapi aku pernah kok,
lihat Raina juga sering jalan sama cowok lain.”
“Bisa aja kan, Alfa suka modusin aku cuma mau bales
kelakuan si, Raina itu.”
“Tapi aku yakin, suatu saat nanti, Alfa bakal balik sama
kamu.”
“Aku sih berharap begitu.”
“Hai Lyn.”
Tirta mengacaukan cuhatanku dengan Erlyn sambil melambai
di dekat pintu.
“Samperin tuh,” ledekku pada Erlyn.
“Aku tinggal dulu ya?”
“Iya iya.”
“Gie, kamu belum makan kan?”
Aldo datang lalu meletakkan roti.
“Makasih.”
“Aku duduk disini ya?”
Aku tidak menjawab lalu Aldo menggeser kursi yang ada di
sebelahku.
“Mikirin apa sih?”
“Bukan apa-apa?”
“Pasti, Alfa lagi.”
“Apaan sih? Kamu nggak bisa ya nggak nyalahin Alfa.”
“Nanti pulang sekolah, kita jalan-jalan yuk?”
Aldo berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Kemana?”
“Kemana aja terserah kamu.”
Aldo mencubit pipiku gemas.
“Aduh sakit,” senyumku terpaksa.
***
TIDAK
ku sangka, hujan menjebakku berlama-lama bersama Aldo yang baru saja keluar
dari galeri seni.
“Suka nggak sama lukisannya tadi?”
“Suka kok.”
“Tahu nggak? Kita kejebak hujan gini berarti takdir.”
Pelan-pelan tangan Aldo menggenggam tanganku yang dari
tadi menggesekkan tangan karena kedinginan.
Kita saling terpaut dalam tatapan yang serius.
“Kenapa gitu?”
“Tuhan tahu, kalau kita butuh waktu berdua.”
Aku tersenyum dan tidak menjawab apa-apa.
Dalam hati, “Aku lebih bersyukur kalau aku terjebak sama,
Alfa.”
“Oh iya, ini aku tadi beliin kamu cokelat.”
“Makasih.”
“Kamu udah mikirin buat lanjut ke Universitas mana?”
sambungku.
“Belum tahu sih, mikirin kamu aja dulu.”
“Ih, serius.”
“Aku juga serius.”
“Eh hujannya udah reda nih, ayo pulang.”
“Iya deh.”
Sampai di rumah, aku hanya memandangi foto Alfa yang
diam-diam ku ambil dari postingannya di medsos.
“Hmm, betah banget ya lama-lama liatin foto orang?”
“Eh Ibu.”
Dengan spontan, aku membalikkan ponselku.
“Ibu lihat dong?”
Ibu secepat kilat mengambilnya lalu melihat foto itu.
“Ibu, jangan.”
“Oh, pantesan diliatin terus. Ganteng ternyata.”
Ibu meledekku.
“Biasa aja kok, Bu.”
“Ini bukan, Aldo kan? Namanya siapa?”
“Namanya, Alfa.”
“Oh, jadi yang pernah kamu ceritain sama, Ibu itu, Alfa?”
“Iya.”
Aku tersipu malu sampai salah tingkah.
“Kenapa nggak di kenalin ke, Ibu sih?”
“Dulu sebelum, Ibu kesini, Alfa sering jemput, Aku ke
sekolah. Katanya, kasian kalau orang cantik suka telat.”
“Kok romantis banget?”
“Tapi dia diam-diam udah punya pacar, jadi, aku berusaha
menghindar dari Alfa.”
“Jangan menghindar terlalu jauh. Karena suatu saat dia
akan kembali.”
“Gimana, Ibu bisa tahu?”
“Cinta itu selalu begitu. Meskipun sudah digariskan untuk
kita, tapi kita seringkali dipermainkan.”
“Ibu bener.”
“Ya udah ayo makan malam dulu, abis itu lanjut lagi
liatin fotonya, Alfa.”
“Ih, Ibu.”
Aku pun tertawa dengan godaan Ibu yang selalu bisa
mencairkan suasana tegang maupun haru.
Beberapa detik setelah aku menutup sebagian tubuhku
dengan selimut, tiba-tiba satu panggilan dari Alfa segera ku jawab.
Hai Gie – Alfa
Hai,
kenapa? – Gieska
Besok kita buat puisinya di ruang
jurnalistik ya? – Alfa
Oke.
– Gieska
Eh jangan ditutup dulu. – Alfa
Apa
lagi? – Gieska
Kamu mau tidur ya? – Alfa
Iya
lah. – Gieska
Jangan tidur dulu dong. – Alfa
Tapi
aku udah ngantuk. – Gieska
Ya udah aku video call aja, kamu
tidur, terus aku nyanyi buat kamu. –
Alfa
Oke.
– Gieska
Aku menuruti Alfa lalu mendengarkan sebentar nyanyiannya
sampai aku benar-benar tertidur.
Dengan keadaan ponsel yang masih menyala, Alfa masih saja
bernyanyi untukku.
Komentar
Posting Komentar