Part 6

Kembali ; bagian 1

            HARI ini suasana sekolah sedikit gaduh sebab banyak kelas yang kosong karena beberapa guru sibuk menyiapkan ujian untuk kelas dua belas. Ada yang bertebaran ke kantin, ada yang sibuk ghibah di setiap sudut sekolah.

Seperti yang sudah ku rencanakan dengan Alfa, hari ini aku menuju ke ruang jurnalistik untuk membahas puisi.

“Hai, Al. Udah lama?”

“Belum kok.”

“Ya udah, langsung aja kita buat.”

“Ayo.”

“Oh iya, ini aku juga bawa beberapa antologi puisi buat referensi.”

Alfa yang sedang sibuk membaca beberapa buku, diam-diam ku amati setiap lekuk wajahnya.

“Oke, aku udah dapet ide sedikit nih,” seru Alfa.

Seketika aku memalingkan wajah dari Alfa.

“Gimana?”

“Kamu tulis ya, biar nggak lupa.”

“Oke sebentar.”

“Sekarang tatap mata aku, Gie.”

“Hah?”

“Udah, jangan banyak tanya.”

“Iya.”

Hari itu, cakrawala menurunkan malaikat bersayap matahari

Dia yang membuatku jatuh hati

Dari matanya, waktu berhasil ku curi

Dan dari senyumnya, hati berhasil ku miliki

Dalam beberapa detik aku tenggelam dalam tatapan Alfa yang menarikku dalam puisinya.

Terkadang aku di buat bingung dengan sikap Alfa yang bisa saja sewaktu-waktu asing, lalu kembali peduli.

“Bagus nggak?”

“Bagus kok.”

“Oke, sekarang gantian kamu.”

“Aku belum dapet ide, nanti aku bilang kalau udah.”

“Nyari ide itu gampang, pikirin aku aja.”

Aku hanya membalas dengan senyuman.

“Woy, Al. Berduaan aja, nanti ketiganya setan lo.”

Datang Tirta yang tiba-tiba mengagetkanku.

“Iya, yang baru bilang itu setannya.”

“Yah, kena boomerang.”

Suasana ruang menjadi penuh tawa karena kata-kata Alfa.

“Kalian itu sebenarnya cocok, tapi sayang, nggak bisa nyatu.”

“Dasar sok tahu,” sahut Alfa.

“Udah lah, Al nggak usah ngelak. Bukannya kamu masih..,”

Alfa nampak mengedipkan mata, sebagai isyarat agar Tirta tidak melanjutkan percakapannya.

“Udah jam istirahat nih, kita ke kantin yuk.”

Seru Alfa mengalihkan pembicaraan.

“Kamu duluan aja, Al. Nggak enak nanti kalau Aldo lihat kita berdua.”

“Ya udah, yuk Ta.”

Tangan Alfa melingkar pada leher Tirta, lalu mengajaknya pergi ke kantin.

*** 

SESEKALI aku pernah berfikir untuk mengakhiri hubunganku dengan Aldo. Tapi aku tidak punya alasan untuk itu.

Meskipun cinta datang tanpa alasan, seharusnya melepaspun tidak perlu penjelasan. Tapi sayang, Aldo bukan orang yang dengan mudah melepas dengan alasan sepele.

“Hei, mikirin apa sih?”

Erlyn yang datang menepuk bahuku.

“Eh Lyn, biasa lah.”

Aku bergeser agar Erlyn memposisikan duduknya di sebelahku

“Kamu tuh sebenarnya pilih yang mana?”

“Sekali jatuh, aku nggak bisa jatuh ke lubang yang berbeda.”

“Sebenarnya, Alfa jauh lebih pantes buat kamu, tapi, kalau kamu yakin, pepet aja terus.”

Ledek Erlyn.

“Iya sih, tapi kalau udah dipepet tapi nggak kesrempet gimana?”

“Tabrak aja sekalian.”

Seketika tawa kami mengundang banyak mata yang menyudutkan dari setiap sudut sekolah.

“Kamu sama, Tirta gimana?”

“Ya gitu lah.”

Erlyn nampak salah tingkah.

“Gitu gimana?”

“Kemarin, Tirta nembak aku.”

“Aaaa.”

Suaraku kami kembali disudutkan dengan tatapan tajam.

“Tapi, kamu sebenarnya yakin nggak sih sama, Tirta.”

“Ya, aku sih berusaha yakin.”

“Tapi kan kamu juga udah tahu kan, Tirta itu terkenal playboy?”

“Iya sih, bisa aja dia kaya gitu karena belum ketemu sama jodohnya.”

“Terus, kamu pikir kamu jodohnya?”

“Ya, kalau aku bisa ngerubah sikapnya, bisa aja aku jodoh.”

“Dih, mentang-mentang baru jadian.”

“Ya kalau kamu bisa yakin sama perasaan, Alfa, kenapa aku nggak bisa?”

“Gie.”

Datang Aldo yang seperti sedang menyembunyikan sesuatu.

“Kenapa?”

“Ya kangen lah, sama pacarnya masa nanyanya gitu?”

“Tadi aja berangkat bareng, satu di sekolah aja udah kangen?”

“Nih coklat buat kamu, hadiah yang manis buat orang yang manis juga.”

“Makasih.”

“Hmm, jadi obat nyamuk tuh nggak enak, aku pergi dulu ya,” seru Erlyn.

“Kamu hari ini bukannya ada simulasi buat ujian ya?”

“Iya, tapi aku kangen sama kamu, simulasi sih belakangan.”

“Ih serius,” aku mencubit lengan Aldo.

“Iya deh, aku pergi dulu.”

Dengan sikap Aldo yang semakin hari semakin berubah membaik, aku semakin tidak tahu harus menyikapi Aldo bagaimana lagi.

Bahkan sikapnya padaku tidak menumbuhkan apapun dalam hatiku. Berpura-pura baik-baik saja itu tidak mudah.

Sepulang sekolah, dalam mobil aku hanya diam, memalingkan wajah, dan mengamati gedung-gedung pencakar langit dari jendela mobil. Aldo pun tidak memulai percakapan apapun.

“Aldo,” seruku memecah keheningan.

“Kenapa?”

“Lusa, band sekolah kita bakal ikut lomba, kamu dateng kan?”

“Emang acaranya dimana?”

“Deket sama jalan baru itu lo.”

“Kayaknya nggak bisa deh.”

“Ya udah,”

Aku memasang wajah kecewa, meskipun dalam hati, aku senang punya banyak waktu dengan Alfa.

***

CAHAYA matahari menyelinap masuk kamarku melalui sela-sela korden. Hari ini adalah hari dimana band sekolahku akan menampilkan semua kerja keras kami selama ini.

Setelah sarapan aku menuju bagasi, namun aku dikejutkan dengan kedatangan Alfa yang sudah menunggu di depan rumah. Bahkan Alfa tidak memberi kabar terlebih dahulu.

“Alfa?”

“Udah siap kan? Ayo berangkat.”

“Kok nggak ngabarin sih?”

“Ya ini kejutan biar kamu seneng.”

Ibu yang mendengar percakapanku, menyusulku ke teras.

“Eh, ini siapa?”

Tanya Ibu dengan nada yang begitu ramah.

“Oh iya, kenalin nama saya, Alfa, Tante.”

Alfa turun dari motor dan menjabat tangan Ibuku.

“Di foto aja udah ganteng, ternyata aslinya lebih ganteng.”

Ledek Ibu berbisik. Aku tersipu mendengarnya.

“Tante ternyata cantik ya? pantes nurun ke anaknya.”

“Eh sst,” aku mengisyaratkan Alfa agar tidak modus di depan Ibu.

“Ha ha, bisa aja kamu,” sahut Ibu.

“Boleh kan saya pergi sama, Gieskanya, Tante?”

“Boleh dong, Gieska udah dandan cantik kaya gini masa nggak boleh sih.”

“Gieska itu ganteng kaya saya, Tan. Penampilannya aja tomboy gini.”

Bibirku mengerucut karena ledekan Alfa.

“Standar cantiknya udah kaya gini, hargain dong,” sahutku ketus.

“Becanda, gitu aja marah.”

“Ya udah langsung berangkat aja, keburu siang.”

“Iya, aku berangkat dulu ya, Bu. Assalamu’alaikum,” aku mencium tangan Ibu.

“Saya juga ya, Tante.”

“Jaga anak, Tante, jangan sampek ada yang lecet,” goda Ibu.

“Siap, Tante.”

Alfa mengangkat tangan dengan posisi hormat pada Ibu.

“Ada-ada aja si, Alfa itu.”

Ibu terkekeh, melihatku sampai keluar gerbang.

Perjalanan terasa lebih lama saat bersama Alfa. Cuaca panas perkotaan dan padatnya kemacetan yang sering terjadi di Ibukota, bahkan tidak mengurangi waktuku dengan Alfa.

“Kamu udah hafal kan sama puisinya, Gie?”

“Ya sebenarnya ada sedikit yang belum hafal, tapi bisa diatur lah.”

“Oh iya, kenapa Aldo nggak bisa nemenin kamu?”

“Kok kamu tahu, Aldo lagi nggak bisa nemenin aku ke acara ini?”

“Udah berapa kali kamu nanya kenapa aku bisa tahu? Sejak awal aku kenal kamu, aku tahu semuanya tentang kamu.”

“Dia nggak bilang sih, tapi ya biarin lah, dia emang gitu, sibuk sama dunianya sendiri.”

“Aku nggak akan biarin kamu sendirian.”

            Nada bicara Alfa nampaknya serius. Entah kenapa, saat Alfa mengatakan itu, aku semakin yakin pada Alfa.

Thanks for reading!
Lama nggak update, semoga makin penasaran sama kelanjutannya ya, hehe

Komentar

Postingan Populer