Part 8 & Epilog

Jangan Pergi 

            HENING. Ku rasa itu yang tepat untuk menggambarkan hatiku saat ini. Aku terpaksa menjauh dari Alfa, bukan karena marah, tapi untuk beberapa waktu memang sebaiknya aku menjaga jarak dengannya.

Aku dan Erlyn berjalan menyusuri koridor dan mendapati pemandangan tidak mengenakkan.

Di samping perpustakaan ada Alfa dan Tirta yang sedang mengobrol, sedangkan di lapangan, ada Aldo yang sedang bermain basket.

Berjalan di hadapan Alfa, seolah aku adalah orang asing.

“Gie, kenapa tiba-tiba cuek gitu sama, Alfa?” seru Erlyn.

“Kamu nggak lihat tadi? Ada, Aldo sama, Alfa kan, aku mau ngindar dari mereka dulu.”

“Kenapa?”

“Aku udah putus sama, Aldo.”

“Hah? Kapan?”

“Kemarin. Aku harus jaga jarak dulu sementara sama, Alfa. Aku nggak mau Aldo salah paham, nanti dia kira aku mutusin dia karena, Alfa.”

“Ya, aku sih setuju sama kamu.”

Jam sudah menunjukkan pukul 15.00. Erlyn sudah pulang dengan Tirta, dan terpaksa aku harus pulang sendirian.

Aku hanya khawatir jika Alfa menunggu di tempat parkir. Dan benar, Alfa sedang duduk di atas motornya,

Aku melewatinya tanpa menyapa ataupun menatapnya. Alfa hanya melirik, tapi tidak menghadangku.

Kupikir dia saat ini kesal dengan sikapku. Saat aku akan masuk dalam mobil, dengan cepat Alfa menaiki motornya dan keluar dari gerbang sekolah. Ku harap Alfa tidak marah.

***

LIMA bulan berlalu. Aldo sudah lulus dari sekolah ini. Tapi aku dan Alfa masih saja saling mengasingkan diri.

Beberapa kali, aku melihat sikapnya yang dulu sering menggoda banyak perempuan, dia ulangi lagi.

Setiap kali bertemu, Alfa pasti tidak mau menatapku sedikit saja. Bahkan berbicara denganku saja nampaknya enggan.

Menghitung hari tanpa adanya percakapan dengan Alfa, rasanya membunuhku perlahan.

Yang aku pikir selama ini, mengasingkan diri dari Alfa bahkan berjalan sampai lebih dari satu tahun.

Meskipun aku mendengar dari Tirta, bahwa Alfa sudah putus dengan Raina, tapi tetap saja. Hubunganku dengan Alfa tidak baik-baik saja.

Mungkin asing membuatku mati rasa. Tidak tahu harus merindukan siapa. Barangkali di dalam hatiku, sudah beku.

Malam itu, sekolah mengadakan satu acara pameran seni yang biasa diadakan dua tahun sekali, bahkan dibuka untuk umum.

Acara berlangsung meriah. Ada yang menampilkan tari, musik, puisi, dan banyak juga beberapa kerajinan yang dipajang dari pintu masuk sekolah sampai di aula, supaya ada yang membelinya.

Saat aku sedang menikmati musikalisasi puisi, tiba-tiba jari seseorang pelan-pelan meraih jariku.

Dengan spontan, aku melihat tanganku tidak dilepaskan. Tangan itu, aroma tubuh itu, benar dugaanku. Itu Alfa.

Aku hanya menunduk tidak berani menatap. Jarak kami hanya beberapa senti, tapi aku hanya diam.

“Gie.”

Aku tidak menjawab, lalu melepaskan tangan Alfa. Secepat kilat, Alfa menggapaiku, dan memelukku dari belakang.

Jantungku rasanya ingin meledak. Detaknya tidak teratur, air mata meluncur. Nyaman. Itu yang membuatku tidak melepaskan pelukan Alfa.

“Jangan lari lagi, Gie.”

“Kenapa?” tanyaku dengan suara serak.

“Aku mau ngabisin waktu sama kamu.”

Alfa meletakkan dagunya pada bahuku.

“Kenapa baru sekarang?”

“Kalau aku sayang sama kamu, apa kamu masih mau pergi?”

Deg. Air mataku jatuh di tangan Alfa.

Alfa membalikkan tubuhku sehingga posisi berhadapan yang begitu dekat.

“Aku nggak suka lihat kamu nangis.”

Satu jari Alfa mendarat pada pipiku, mengahapus air mataku.

“Kamu kaya gini cuma mau modus kan? Aku lihat kok kamu lakuin hal yang sama ke semua orang.”

“Kadang yang kamu lihat nggak sesuai sama kenyataan.”

“Terus?”

“Orang lain itu cuma kertas putih. Tapi kamu itu bukan cuma kertas putih, kamu punya cerita di dalamnya.”

“Maksud kamu apa?”

“Aku suka semua hal tentang kamu. Tentang tulisan-tulisan kamu, hobi kamu, bahkan hati aku bisa sejalan sama pikiran kamu.”

“Kenapa nggak dari dulu kamu kasih aku kepastian ini?”

“Aku udah pernah coba, tapi belum apa-apa kamu malah sama, Aldo.”

“Aku terpaksa.”

“Karena?”

“Kamu.”

“Dulu, aku pernah ungkapin perasaan aku sama kamu, meskipun kamu waktu itu udah tidur, aku lega perasaan aku bisa keluar dari mulut aku.”

Aku diam, tidak tahu harus menjawab apa lagi.

“Apa perlu aku ulang? I love you, Gieska.”

Malam itu adalah satu momen yang indah. Dalam pelukannya, keyakinanku terjawab.

***

SEPERTI yang dikatakan Alfa malam itu, dia benar-benar menepatinya. Hingga ada satu hal yang membuatku harus rela bertahan menunggu Alfa.

Tok tok tok. “Gieska!” suara Erlyn menggedor-gedor pintu rumahku.

“Iya, sebentar.”

Wajah Erlyn nampak panik.

“Ayo ikut aku, Gie.”

“Kemana?”

“Udah, ayo ikut!”

“Tenang dulu, Lyn! Jelasin kita mau kemana?”

“Alfa mau pergi?”

“Ya kalau mau pergi, ya biarin lah.”

“Dia mau pergi ke luar negeri!”

“Kamu serius?”

“Serius, Gie!”

Air mataku seketika menetes, bahkan detak jantungku berhenti sejenak.

“Bentar aku ambil tas dulu.”

“Iya cepetan.”

Erlyn melajukan mobil dengan kecepatan tinggi, menerjang hujan yang lumayan lebat, hingga Erlyn berhenti di stasiun.

Stasiun sudah begitu padat dengan orang-orang. Sedikit sulit mencari Alfa, hatiku rasanya terkapar, pikiranku tersambar.

Aku berlari sekuat tenaga meskipun beberapa kali harus menabrak orang yang sedang berjalan menuju kereta.

Aku berhenti dan terpaku melihat Alfa masih duduk menunggu kereta yang akan dia naiki.

“Alfa!” aku memanggil dengan suara agak serak sampai Alfa menoleh padaku.

“Gieska?” Alfa berdiri dan nampak heran melihatku.

Aku berlari dan menyambarnya dengan pelukan yang begitu erat. Aku menangis sejadi-jadinya dalam dekapannya.

“Kenapa kamu pergi, Al?”

“Maafin aku, Gie. Aku nggak ngabarin kamu, karena aku tahu kamu pasti bakal sedih.”

“Jangan pergi.”

Aku melepas pelukanku lalu menatap mata Alfa supaya Alfa tidak jadi pergi.

“Aku mau ngelanjutin sekolah di luar negeri, Gie. Hari ini aku harus ke bandung, pamitan sama saudara yang ada di sana, terus besok aku bakal berangkat ke London.”

“Tapi kenapa kamu nggak pernah cerita kalau kamu mau ngelanjutin sekolah.”

“Aku nggak mau bikin kamu khawatir,” Alfa mengusap pipiku.

“Aku mau kasih ini ke kamu. Aku nggak peduli kamu mau baca atau enggak.”

“Pasti aku baca.”

“Apa aku harus bertahan nungguin kamu lagi?”

“Perpisahan ini cuma sepenggal kisah hidup, Gie. Aku akan pulang. Aku juga mau ngasih buku dairy ini buat kamu.”

Aku hanya mengamati buku yang pada bagian covernya sudah diberikan gembok yang di ukir nama Gieska dan satu buah kunci yang di ukir nama Alfa.

“Tulis semua kerinduan kamu dalam buku ini, aku juga akan tulis hal yang sama.”

Alfa menunjukkan buku dairy yang sama.

Kereta yang akan di naiki akhirnya tiba. Mungkin aku harus benar-benar jauh dari Alfa.

“Aku harus pergi sekarang.”

“Jangan, Al.”

Kereta itu mulai berjalan, dan Alfa hanya melambai dan menunjukkan senyumnya.

“Alfa!” aku berteriak hingga beberapa orang menatapku heran.

Tiba Erlyn dan Tirta menahanku.

“Sabar, Gie. Alfa pasti akan pulang.”

Patah. Mungkin itulah kata yang tepat menggambarkan suasana hatiku ditinggalkan Alfa.

Kupikir malam itu keyakinanku sudah terbayar lunas. Tapi nihil, keyakinanku harus rela ku lepas.

Tentang nada-nada itu, puisi itu, aroma tubuh itu, dan pelukan malam itu, seolah membuat dunia terasa tidak adil. Sebab, semua orang yang aku sayang harus pergi.

Setelah perih yang begitu perih, sampai patah yang begitu parah. Terkadang beberapa momen memang hanya perlu di simpan rapi dalam ingatan.

            Sampai kamu kembali, rasa ini akan tetap sama. Aku janji.

Epilog

SAKIT memang, jika terlalu mengikuti arus derasnya euforia sesaat. Seperti pepatah, ketika ada  yang datang pasti akan pergi. Dan kepergian itu yang sangat memilukan.

Kepergian Alfa bukan akhir dari dunia. Dan dalam berlembar-lembar kertas putih, hampir satu tahun lebih, dairy yang diberikan Alfa padaku hampir penuh dengan semua keluh kesahku tentangnya.

Puisi-puisi tentang Alfa, serta foto-fotonya juga memenuhi dinding kamarku. Salah satu alasanku bertahan karena aku yang masih juga percaya padanya. Entah mau dikatakan egois, atau terlalu bodoh, aku tidak peduli.

Meskipun jarak yang begitu jauh dan lose contac membuatku tidak pernah mengetahui bagaimana kabarnya, dia sedang apa, dan dengan siapa.

Sampai detik ini aku hanya berharap Alfa segera pulang, sebab setiap kali aku merindukannya seperti ada peluru melesat tepat di jantungku, lalu membunuhku.

            Tak apa, ketika waktu membawamu pergi, waktu pula lah yang akan membawamu kembali. Semua sudah ku simpan rapi dalam sepenggal kisah Gieska.

Thanks for reading!
Semoga kalian menikmati kisah singkat ini. Terima kasih untuk semua orang yang sudah mensuport saya hingga kisah ini menjadi satu-kesatuan yang utuh dan diterbitkan.

Komentar

Postingan Populer